Translate

Kamis, 31 Mei 2012

KONSEP DASAR BUDAYA

A.   PENGERTIAN BUDAYA

Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:
1.      Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2.      M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.
3.      Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
4.      Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5.      William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua masyarakat.
6.      Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
7.       Bounded et.al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam media,
8.      Robert H Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

B.   KONTAK ANTAR BUDAYA
  1. Pengertian
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA / KAB (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya. Jadi pada dasarnya KAB mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi : apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, bagaimana cara mengkomunikasikannya (verbal dan nonverbal), dsb.
KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA / KLB (cross-cultural communication) secara tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda. Contoh bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Tetapi lambat laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara konvensional KAB lebih luas dan lebih komprehensif daripada KLB.
KOMUNIKASI ANTAR ETNIK (interethnic communication) adalah komunikasi yang terjadi antara kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal-usul yang sama. Oleh karena itu komunikasi antar etnik juga merupakan bagian dari KAB, sebagaimana juga komunikasi antar ras, komunikasi antar agama dan komunikasi antar gender. Dengan kata lain, komunikasi antar budaya lebih luas dari bidang-bidang komunikasi yang lainnya.
KOMUNIKASI ANTAR RAS adalah komunikasi yang terjadi pada sekelompok orang yang ditandai dengan ciri-ciri biologis yang sama. Secara teoritis 2 orang dari ras berbeda boleh jadi memiliki budaya (terutama ditandai dengan bahasa dan agama) yang sama. Secara implisit komunikasi antar ras juga mengandung dimensi komunikasi antar budaya, karena biasanya ras berbeda memiliki bahasa dan asal-usul berbeda. Kalaupun kedua pihak yang berbeda ras sejak lahir diasuh dalam budaya yang sama, potensi konflik tetap ada dalam komunikasi mereka, mengingat pihak-pihak bersangkutan menganut stereotip-stereotip tertentu (biasanya negatif) mengenai mitra komunikasinya yang berbeda ras itu.  Contoh, orang Amerika berkulit putih (nenek moyangnya berasal dari Eropa) dan orang Amerika berkulit hitam (nenek moyangnya berasal dari Afrika) telah hidup berdampingan di negara yang sama selama berabad-abad, tidak dengan sendiri komunikasi diantara mereka harmonis. Hingga sekarang mereka mempunyai potensi konflik yang tetap besar, mengingat mereka memiliki prasangka antar ras.
Selain pengertian yang berusaha mengaitkan antara komunikasi dan budaya, masih ada kajian lain yang juga sama dalam usaha untuk mengaitkan komunikasi dan budaya yaitu Komunikasi Internasional. Pendekatan umum dan dasar kedua bidang ini memang sulit dibedakan. Akan tetapi, jika komunikasi antarbudaya berlangsung pada tingkat budaya, dan komunikasi internasional berlangsung pada tingkat negara, yang berarti melewati batas-batas negara. Jadi ada kalanya komunikasi antar budaya identik dengan komunikasi antar bangsa, meskipun tidak selalu demikian. Masalahnya, sering sekelompok orang yang memiliki budaya yang sama (contoh, Indonesia dan Malaysia) dipisahkan oleh batas negara, sehingga bisa dikatakan komunikasi antara Indonesia dan Malaysia adalah komunikasi antar bangsa dalam suatu budaya yang sama. Sebaliknya, kelompok-kelompok orang dengan budaya-budaya berlainan boleh jadi terdapat di negara yang sama, seperti di Amerika Serikat dan Australia, sehingga komunikasi antarbudaya berlangsung di negara yang sama. Perbedaan lainnya adalah KAB lebih banyak menyoroti realitas sosiologis dan antropologis, sementara komunikasi antarbangsa lebih banyak mengkaji realitas politis.

  1. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kontak Antar Budaya
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan KAB dapat dilihat dari 4 segi:
a.      Segi Internasional
Telekomunikasi & transportasi. Kemajuan teknologi, khususnya di bidang komunikasi dan transportasi jelas membawa pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Teknologi komunikasi dan transportasi telah menyatukan dunia dengan penduduk yang berbeda pandangan politik, sistem sosial dan kepercayaan. Komunikasi dan transportasi membawa bangsa-bangsa ke dalam “Era Globalisasi”. Meningkatnya teknologi komunikasi dan transportasi menciptakan suatu jaringan komunikasi dunia.
b.      Satelit
Satelit komunikasi ini memungkinkan jumlah manusia yang banyak dengan jarak yang berjauhan dapat dibujuk, diajarkan dan dihibur secara serentak dalam satu waktu yang sama.
c.       Kesadaran manusia
Kesadaran manusia dan bangsa akan adanya kesempatan dan kebutuhan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan kejiwaan, termasuk kebutuhan akan informasi. Dengan informasi orang dapat mengetahui apa yang telah, sedang dan akan terjadi di suatu masyarakat atau negara, serta dapat mengetahui tindakan yang harus dilakukan untuk memperbaiki hidupnya.
Dengan berkurangnya hambatan-hambatan komunikasi, maka dunia seakan terdesak pada kebutuhan untuk mencapai saling pengertian antara sesama umat manusia. Peperangan yang terjadi mungkin saja disebabkan oleh kurang atau tidak adanya pengertian di antara pihak-pihak yang bertikai karena adanya kepentingan nasional, falsafah hidup, keinginan ataupun harapan-harapan pihak lainnya.
Sesuatu yang dianggap baik oleh suatu pihak belum tentu bernilai positif bagi yang lain dan bahkan sebaliknya
d.      Segi Domestik
Perubahan-perubahan di dunia internasional tentu saja membawa dampak perubahan kebudayaan di dalam negeri. Termasuk munculnya berbagai macam kelompok sub-budaya yang menyimpang dari kebudayaan dominan masyarakat.
Sub budaya adalah : suatu komunitas rasial, etnik, regional yang memperlihatkan pola-pola perilaku yang membedakannya dari sub-budaya lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya.
Pada umumnya sub budaya terjadi karena adanya minoritas di dalam budaya.
Contoh sub budaya & dampak adanya perubahan internasional ke domestik :
Adanya persamaan hak untuk memperoleh pendidikan yang sama bagi masyarakat Indian di AS. Adanya kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan pemerintahan untuk kulit hitam.
Akan tetapi, kontak-kontak baru ini seringkali menemui kegagalan atau tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Masalah-masalah yang muncul tidak saja disebabkan perbedaan bahasa, pengertian tentang penggunaan waktu, pakaian, warna kulit, tetapi lebih mendalam dan kompleks karena menyangkut perbedaan nilai dan cara memandang kehidupan.
Contoh sub budaya & dampak adanya perubahan internasional ke domestik :
Adanya persamaan hak untuk memperoleh pendidikan yang sama bagi masyarakat Indian di AS. Adanya kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan pemerintahan untuk kulit hitam.
Akan tetapi, kontak-kontak baru ini seringkali menemui kegagalan atau tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Masalah-masalah yang muncul tidak saja disebabkan perbedaan bahasa, pengertian tentang penggunaan waktu, pakaian, warna kulit, tetapi lebih mendalam dan kompleks karena menyangkut perbedaan nilai dan cara memandang kehidupan.

C.   PERUBAHAN SOSIO-BUDAYA DAN EFEK PSIKOLOGISNYA
1.      Pengertian
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang terjadi dalam struktur/ organisasi sosial masyarakat sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan.
Menurut para ahli, yang dimaksud dengan perubahan social budaya adalah sebagai berikut :
a.       Gillin dan Gillin
Perubahan sosial budaya adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima yang disebabkan oleh perubahan pada kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat itu sendiri.
b.      Samuel Koenig
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.
c.       Selo Soemardjan
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.
d.      Kingsley Davis
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat.

e.       Mac Iver
Perubahan sosial budaya adalah perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan sosial tersebut.

f.       William F. Ogburn
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun non-material.

2.      Factor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial dan budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan terdiri dari faktor yang mendorong dan faktor yang menghambat terjadinya Perubahan sosial dan budaya.
Faktor-faktor itu bisa berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat. Berikut diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan social budaya.
a.       Kontak dengan kebudayaan lain. Masyarakat yang sering melakukan kontak dengan kebudayaan lain akan mengalami perubahan yang cepat. Kontak dengan kebudayaan lain ini berhubungan dengan difusi, yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
b.      Sistem pendidikan formal yang maju. Pada jaman modern sekolah semakin memegang peran penting dalam melakukan perubahanperubahan pada para murid yang juga merupakan anggota masyarakat secara keseluruhan. Melalui pendidikan, seseorang diajarkan berbagai kemampuan dan nilai-nilai yang berguna bagi manusia, terutama untuk membuka pikirannya terhadap hal-hal baru.
c.       Toleransi. Perubahan social budaya yang cepat akan terjadi pada masyarakat yang sangat toleran terhadap perbuatan atau masyarakat yang berperilaku menyimpang, baik yang positif maupun negatif, dengan catatan bukan merupakan pelanggaran hukum. Masyarakat yang memiliki toleransi cenderung lebih mudah menerima hal-hal yang baru.
d.      Sistem stratifikasi terbuka. Sistem pelapisan social terbuka pada masyarakat akan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada individu untuk naik ke kelas sosial yang lebih tinggi melalui berbagai usaha yang diperbolehkan oleh kebudayaannya.
e.       Penduduk yang heterogen. Pada masyarakat yang heterogen atau masyarakat yang berbasis latar belakang kebudayaan, ras, dan ideologi yang beragam akan mudah mengalami pertentangan-pertentangan yang mengundang perubahan. Keadaan ini akan mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat.
f.       Ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai bidang kehidupan. Ketidakpuasan ini, baik dalam sistem kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan keamanan, akan mendorong masyarakat melakukan perubahan sistem yang ada dengan cara menciptakan sistem baru agar sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya.
g.      Orientasi ke masa depan. Umumnya masyarakat beranggapan bahwa masa yang akan datang berbeda dengan masa sekarang, sehingga mereka berusaha menyesuaikan diri, baik yang sesuai dengan keinginannya, maupun keadaan yang buruk sekalipun. Untuk itu, perubahan-perubahan harus dilakukan agar dapat menerima masa depan.
h.      Pandangan bahwa manusia harus senantiasa berusaha untuk memperbaiki hidupnya. Terdapat suatu ajaran atau keyakinan di masyarakat yang menyebutkan bahwa yang dapat mengubah atau memperbaiki keadaan nasib manusia adalah manusia itu sendiri, dengan bimbingan Tuhan. Jika seseorang ingin berubah niscaya ia harus berusaha. Usaha ini ke arah penemuan-penemuan baru dalam bentuk cara-cara hidup atau pun pola interaksi di masyarakat.
Selain dari itu faktor-faktor yang bisa menghambat perkembangan di masyarakat dari perubahan social budaya diantaranya :
a.       Kurang berhubungan dengan masyarakat lain. Masyarakat yang kurang memiliki hubungan dengan masyarakat lain umumnya adalah masyarakat terasing atau terpencil. Dengan keadaan seperti ini, mereka tidak mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masyarakat lain.
b.      Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. Keterlambatan perkembangan ilmu pengetahuan di suatu kelompok masyarakat dapat disebabkan karena masyarakat tersebut berada di wilayah yang terasing, sengaja mengasingkan diri atau lama dikuasai (dijajah) oleh bangsa lain sehingga mendapat pembatasan-pembatasan dalam segala bidang.
c.       Sikap masyarakat yang sangat tradisional. Suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi lama serta anggapan bahwa tradisi tidak dapat diubah akan sangat menghambat jalannya proses perubahan, keadaan tersebut akan menjadi lebih parah apabila masyarakat yang bersangkutan dikuasai oleh golongan konservatif.
d.      Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat. Dalam suatu masyarakat, selalu terdapat kelompok-kelompok yang menikmati kedudukan tertentu. Biasanya, dari kedudukan itu mereka mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu dan hak-hak istimewa.
e.       Rasa takut akan terjadi kegoyahan pada integrasi sosial yang telah ada. Integrasi sosial mempunyai derajat yang berbeda. Unsur-unsur luar dikhawatirkan akan menggoyahkan integrasi sosial dan menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek tertentu dalam masyarakat.
f.       Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. Di dalam masyarakat menganggap pandangan hidup atau keyakinan yang telah menjadi ideologi dan dasar integrasi mereka dalam waktu lama dapat terancam oleh setiap usaha perubahan unsur-unsur kebudayaan.
g.      Prasangka pada hal-hal baru atau asing (sikap tertutup). Prasangka seperti ini umumnya terdapat pada masyarakat yang pernah dijajah oleh bangsa-bangsa asing, mereka menjadi sangat curiga terhadap hal-hal yang datang dari luar sebab memiliki pengalaman pahit sebagai bangsa yang pernah dijajah, umumnya unsur-unsur baru yang masuk berasal dari dunia barat.
h.      Adat istiadat (kebiasaan). Adat istiadat atau kebiasaan merupakan pola perilaku anggota masyarakat dalam memenuhi semua kebutuhan pokoknya. Jika kemudian pola-pola perilaku tidak lagi efektif memenuhi kebutuhan pokok, maka akan muncul krisis adat atau kebiasaan, yang mencakup bidang kepercayaan, sistem pencaharian, pembuatan rumah dan cara berpakaian.

3.      Efek Perubahan Sosial Budaya
Adanya perubahan sosial budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak negatif dan positif.
a.       Akibat Positif
Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.
b.      Akibat Negatif
Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan.
Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan negatif.

Perubahan social budaya juga memunculkan sikap kritis pada individu. Penerimaan masyarakat pada perubahan sosial budaya dilihat dari perubahan sikap masyarakat yang bersangkutan. Jika perubahan sosial budaya tersebut tidak memengaruhi keberadaan nilai dan norma yang sudah ada di masyarakat maka sikap masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau memengaruhi nilai dan norma yang benar maka sikap masyarakat akan negatif.
Perhatikan peta konsep di bawah


Sikap terbuka diartikan dengan menerima segala pengaruh yang masuk dengan mengamati dan menyeleksi, tidak serta merta menerima. Tidak berprasangka buruk pada pengaruh yang masuk dan perubahan yang ada. Menurut Levy-Bruhl bahwa pada masyarakat modern lebih cenderung bersikap terbuka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.
a.       Antisipatif adalah sikap tanggap terhadap sesuatu yang sedang atau akan terjadi. Antisipatif merupakan kelanjutan dari sikap terbuka. Sikap antisipatif dapat dilakukan dimulai dengan mengamati dan meneliti pengaruh suatu perubahan sosial atau budaya, dan hasilnya dijadikan pedoman alam menentukan tindakan.
b.      Selektif berarti melalui seleksi atau penyaringan dan mempunyai daya pilih. Selektif yaitu memilih pengaruh perubahan manakah yang dapat memberikan manfaat besar dan membuang jauh-jauh pengaruh yang tidak bermanfaat.
c.       Adaptif adalah penyesuaian diri dengan pengaruh yang telah dipilih atau diseleksi. Terlambat dalam adaptasi kemungkinan bisa membuat seseorang ketinggalan perkembangan. Tidak meninggalkan budaya asli maksudnya adalah jangan sampai perubahan dan pengaruh yang masuk akan menghilangkan budaya atau kebiasaan positif yang ada di masyarakat. Misalnya dengan adanya HP, diharapkan tidak menghilangkan kebiasaan komunikasi dan interakasi antar individu secara langsung.
D.   PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DALAM PERILAKU LINTAS BUDAYA
            1.      Emosi
a.       Konsep emosi
Ditemukan perbedaan yang signifikan antar budaya mengenai apa yang dimaksud dengan emosi.  Brandt dan Broucher (1986) mempelajari konsep depresi pada delapan budaya  : Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Spanyol, dan Sihalese. Salah satu yang diteliti adalah keberadaan konsep emosi pada budaya-budaya tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kedelapan budaya tersebut memiliki konsep mengenai emosi. Namun semua  budaya  memiliki konsep yang  sama akan emosi.
b.      Kategorisasi emosi
Beberapa manifestasi dari emosi seperti marah, sedih, gembira, tampak bahwa setiap budaya memiliki kosakata yang bermakna sama. Namun ditemukan beberapa kosakata bagi suatu kondisi emosi ada pada beberapa suku namun tidak ditemukan pada suku lain. Seperti adanya  kosakata schadenfreude dalam bahasa Jerman  yang bermakna perasaan bahagia ketika  mendapatkan keberuntungan atas kesialan orang lain. Kategorisasi emosi ini tidak ditemukan dalam kosakata bahasa kita atau Bahasa Inggris.
Dalam Bahasa Jepang ditemukan adanya istilah ithoshii yang bermakna perasaaan hampa akibat ketidak cinya untuk waktu yang lama. Kosakata dalam bahasa Indonesia memilikikata “kesepian” yang bisa menjelaskan kondisi tersebut.
c.       Lokasi emosi
Ditemukan dari beberapa study bahwa setiap budaya menempatkan emosi pada lokasi yang berbeda. Orang barat (Eropa-Amerika) beranggapan bahwa emosi mereka dirasakan di hati (heart), sedangkan orang Jepang berkeyakinan bahwa emosi mereka bertempat dihara atau perut (abdomen), suku Chewong Malaysia berkeyakinan di jantung dan suku Tahiti  sangat yakin bahwa emosi mereka bersumber diusus .
Perbedaan pandangan lokasi budaya oleh budaya-budaya memberikan informasi bahwa emosi dipahami secara berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula pada setiap budaya.
d.      Makna emosi
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa beberapa budaya ternyata mempertimbangkan emosi sebagai sebuah statement didalam hubungan antar orang dan lingkungan. Konsep Jepang mengenai amae, yang menjelaskan suatu bentuk emosi akan ketergantungan satu orang dengan orang lain yang kategori emosi ini tidak ada dalam konsep barat , menjelaskan bagaimana emosi dalam budaya Jepang dilihat sebagai konstruk social lebih  dari sekedar konstruk individual.
e.       Ekspresi emosi
Ekman (1972) mengkaji universalitas ekspresi muka. Studi-studi yang dilakukannya meyakinkan bahwa ekspresi muka adalah universal, paling tidak  pada beberapa emosi yaitu  marah, jijik, takut, gembira, sedih dan terkejut.
Dalam penelitian terakhir, yaitu eksperimen terhadap orang Jepang dan Amerika. Subjek Jepang menahan emosi negative untuk tidak diekspresikan ditengah orang banyak. Sedangkan subjek Amerika diekspresikan. Setiap budaya memiliki kaidah-kaidah tentang bagaimana seharusnya emosi ditampilkan.
f.       Kontrol emosi
1)      Penerimaan emosi
Budaya juga mempengaruhi labeling dari emosi. Studi yang dilakukan Matsumono menemukan bahwa anak-anak Jepang  melakukan interpretasi terhadap emosi yang diekspresikan orang lain berdasarkan beberapa perilaku seperti gesture (gerak tubuh) selain dari ekspresi muka. Terdapat variabilitas dalam level kesepakatan dari setiap budaya. Sebagai contoh ketika ditampilkan sebuah foto ekspresi ketakutan, 90% subjek Amerika menganggap ekspresi tersebut sebagai ekspresi ketakutan, namun dari subjek Jepang 30% menganggap bukan. Perbedaan level kesepakatan dari kedua budaya tersebut menegaskan bahwa budaya memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan akan penerimaan emosi.
2)      Pengenalan intonasi emosi
Penelitian penerimaan emosi juga telah dilakukan pada aspek intonasi suara. Albas dan Mc Cluster (1976) mengumpulkan sampel-sampel pembicaraan dalam Bahasa Inggris dan cree dari subjek Bahasa Kanada yang mengandung makna ungkapan-ungkapan kebahagiaan, kesusahan, cinta, dan kemarahan. Ungkapan-ungkapan dibuat terampang secara semantic dengan prosedur penyaringan elektronik yang menyisakan desah intonasi emosional. Subjek dari dua kelompok bahasa merekognisi emosi yang dimaksud pengucap jauh dibawah tingkat kebetulan, tetapi kinerjanya lebih tinggi dalam bahasa subjek sendiri ketimbang dalam bahasa lain.
Dalam studi Scherer dilaporkan bahwa orang Jepang mengalami emosi gembira, sedih, takut, dan marah lebih sering dibandingkan orang Eropa dan Amerika. Orang Amerika sebaliknya dilaporkan mengalami emosi gembira dan marah lebih sering dibandingkan orang-orang Eropa. Selain itu orang Amerika juga dilaporkan mengalami emosi mereka lebih lama durasinya dan lebih besar intensitasnya dibandingkan orang-orang Jepang dan Eropa.
g.      Perkembangan manusia
1)      Perkembangan motorik
Kebudayaan juga mempengaruhi perkembangan motorik anak terutama yang berkaitan dengan keaktifan gerak anak. Kluckhorn mengadakan penelitian pada dua kelompok bayi, yakni bayi-bayi Amerika dan bayi-bayi suku Indian Zuni. Dua tahun kemudian ternyata kelompok bayi suku Indian Zuni kalah aktifnya dengan kelompok bayi Amerika. Kluckhorn menyimpulkan bahwa keaktifan gerak selanjutnya dari bayi-bayi suku Indian Zuni itu dipengaruhi oleh kebudayaan Zuni yang menekankan kekaleman dan pembatasan diri dan sedikit banyak cara hidup demikian ini telahh disampaikan oleh orang tua mereka yang mengasuhnya.
2)      Perkembangan kognitif
Survey lintas budaya yang melakukan pengetesan pada anak-anak di Inggris, Australia, Yunani, dan Pakistan (Shayer, Demetrio & Perez, 1988) menunjukkan bahwa anak –anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan pencapaian kemampuan direntang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Tidak diketemukan dalam budaya-budaya itu dimana anak usia 4 tahun kurang pemahaman tentang permanensi objek atau anak umur 5 tahun memahami prinsip konservasi. Dengan demikiann anak-anak dari  budaya yang berbeda itu dapat menyeleseikan tugas-tugas perkembangannya dalam urutan yang sama.
Snarey (1985) mereview beberapa studi lintas budaya tentang penalaran moral yang melibatkan subjek dari 27 negara dan menyimpulkan bahwa penalaran moral sifatnya lebih culture – specific (berlaku khusus untuk budaya tertentu).
3)      Perkembangan kepribadian manusia
Goodman melakukan serangkaian penelitian yang membuktikan adanya perubahan-perubahan kepribadian di tinjau dari semakin bertambahnya usia di mana dari perubahan-perubahan tersebut sama antara responden Amerika, dengan responden India Maya. Semakin bertambah tua seseorang tampak semakin pasif, motivasi berprestasi ddan kebutuhan ekonomi semakin turun, dan locus of control semakin mengarah keluar (eksternal) (Price,2002)
4)      Proses – proses dasar psikologis
a)      Persepsi
W.H.R Riferss meneliti di bidang kajian lintas budaya pada penduduk Torresstrait, Papua Nugini (1864) ia meneliti ketajaman penglihatan, dan penciuman dari orang-orang pribumi tersebut, dari penelitianya Riferss menyimpulkan bahwa ketajaman kemampuan sensasi dari suku Torresstrait. Di akui lebih menonjol di bandingkan orang-orang Eropa ( Berri, 1999)
b)      Intelegensi
Tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosa kata yang memiliki makna sama dengan makna intelgensi yang selama iini di pahami para psikolog sejarah. Di yakin perbedaan pengintelgensian ini merupakan refleksi dari nilai-nilai tersebut. Penelitian Perez (1988) melakukan pengetesan pada anak-anak di Inggris, Australia, Yunani dan Pakistan menunjukan bahwa, dalam masyarakat yang berbeda anak-anak sekolah menampilkan pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak-anak suku Inuid di Kanada, Baool di Afrika, dan Aranda di Australia ada variasi budaya dalam usia di mana anak-anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu.
5)      Perilaku social
a)      Hubungan in-group-out-group
Ada perbedaan budaya dalam pemahaman konsep in-group dan out-group. Hal ini sangat di pengaruhi oleh aturan-aturan dan standar-standar social dan budaya. Misalnya dalam budaya Amerika, keanggotaan in-group dan out-group adalah stabil, tetapi dalam budaya lain beberapa orang mungkin memasukan kamu sebagai in-group dalam suatu lingkungan atau situasi tetapi orang yang sama itu mungkin memasukan kamu dalam out-group pada kesempatan atau situasi yang lain. Misalnya budaya orang-orang Asia mempertimbangkan out-group lain dan kompotitor ketika berbicara tentang isu-isu yang mencakup isu domestik. Tetapi ketika isi pembicaraan berbalik ke kompetisi bisnis internasional, saingan-saingan out-group mungkin bersama-sama membentuk in-group
b)      Persesepsi social (persepsi orang lain)
Schweder dan Bourne (1982) membandingkan diskripsi bebas tentang teman-teman sebayanya antara orang-orang India dan orang Amerika dewasa. Hasilnya lebih besar proporsi perkataan orang India yang mengggambarkan karakteristik yang berkaitan dengan kontek social yang khusus. Pernyataan tipical dari orang India adalah “ia mementikan dirinya sendiri” sementara pernyataan yang sama dari orang india adalah “ia ragu-ragu untuk memberikan semua uangnya kepada keluarganya”.
c)      Gaya atribusi
Studi yang di lakukan Mizokawa dan Ryckman (1990) menemukan bukti adanya pengaruh kesederhanaan atau rendah hati dan juga self-self servingbias pada anak-anak Asia-Amerika dari berbagai etnis tapi efek itu bervariasi dari satu kelompok budaya ke kelompok budaya lainya. Misalnya, anak-anak Asia Tenggara menunjukan kerendah-hatian bagi penilian abilitas tapi self-self servingbias, untuk penilaian usaha, sementara anak-anak Jepang menunjukan hal yang sebaliknya
d)     Perilaku Prososial
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa budaya kolektif pada umumnya memiliki nilai-nilai alturisme yang lebih tinggi dari pada budaya individualistic.
e)      Konfromitas
Studi yang di lakukan Hadiyono dan Hahn (1985) menunjukan bahwa orang Indonesia mendukung konformitas lebih tinggi dari pada orang Amerika. Handerson (1986) menunjukan bahwa orang Jepang dan Cina Hongkong lebih mendukung kepatuhan dari pada orang Italia dan Inggris. Cashsmortdan Goodmow (1984) menunjukan bahwa orang Italia lebih konfrom dari pada orang Inggris dan orang Australia.
f)       Peran gander dan steorotip
Pada kesepakatan yang luas dari hasil-hasil penelitian bahwa steorotip gender adalah universal. Demikian pula di temukan ada perbedaan budaya dalam menilai karakteristik pria dan wanita. Hasil penelitian Wiliams dan Best (1988) menunjukan bahwa beberapa negara (Jepang dan Afrika Selatan) menilai karakterisrik pria lebih menguntungkan darai pada wanita. Sementara beberapa negara lain. Misal Italia dan Peru lebih menilai positif atau menguntungkan karakteristik wanita. Meskipun terdapat kesepakatan atau persamaan antara budaya mengenai macam-macam karakteristik psikologis antara pria dengan wanita, namun perbedaan budaya akan berpengaruh pada derajat atau tingkat perbedaan tersebut.

E.   BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM LINTAS BUDAYA
Pertemuan antar budaya bisa saja positif atau negatif. Positifnya setiap pertemuan menyediakan kemungkinan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan budaya. Segi negatifnya setiap pertemuan itu dapat memperteguh stereotipe-stereotipe budaya yang negatif dan dapat menimbulkan pengalaman gegar budaya. Pertemuan antar budaya mungkin sulit dilakukan karena perbedaan antara  makna budaya, namun ia bukan tidak dapat diatasi. Pertemuan lintas budaya mungkin juga akan menimbulkan banyak problem lagi karena masing-masing anggota kelompok berekasi terhadap akibat pertemuan itu. Akibat negatif bukanlah tidak dapat terhindarkan. Ada tiga hal yang diperlukan bagi pemahaman antar budaya yang positif :
1.      Pertama adalah kesadaran antar budaya, kesadaran bahwa budaya-budaya yang berbeda menggunakan struktur-struktur makna yang berbeda pula untuk menafsirkan sauatu tindakan sosial.
2.      Kedua adalah pemahaman intelek, mengembangkan suatu peta kognitif unutk menggambarkan suatu perbedaan kunci.
3.      Ketiga adalah menyangkut ketrampilan antar budaya, mengembangkan kemampuan untuk masuk pada budaya lain dan meliat dunia seperti yang dilihat oleh orang lain.
Keuntungan memahami budaya adalah dengan memahami budaya lain kita akan lebih memahami budaya kita sendiri. Pemahaman budaya selalu membutuhkan usaha. Ia selalu menuntut kita untuk selalu mendekati setiap budaya baru dengan pikiran terbuka, dengan menunda penilaian dan dengan bersedia menunujukan kebodohan kita dan mau untuk belajar. Dibawah ini beberapa masalah yang kita jumpai dalam lintas budaya :
      a)      Etik dan Emik
Etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten/ tetap diberbagai budaya, denga kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Emik sebaliknya mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, denga demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-spesific). Ada banyak contoh etik dan emik bahkan barangkali bisa dikatakan bahwa tujuanu tama psikologi dan konseling lintas budayasebagai sebuah disiplin  adalah   untuk memeriksa mana aspek-aspek perilaku yang merupakan etik dan mana yang merupakan emik. Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas-budaya sepakat bahwa jumalah emik sama dengan, atau bahkan lebih banyak dari pada etik, itu berarti orang dari budaya berbeda – beda memang menemukan cara yang berbeda-beda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia.Adanya banyak emik atau perbedaan kultural , bukan sesuatu problematis pada dan dalam dirinya sendiri. Namun demikian permasalahn secara potensial akan muncul ketika kita coba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang menyebabkan adanya perbedaan itu. Karena kita berada dalam budaya kita masing-masing, dengan latar belakang kultural kita sendiri , kita cenderung melihat sesuatu dari kacamata dari latar belakang tersebut.
      b)      Stereotipe
Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe bisa berangkat dari fakta. Namundemikian seteriotip sering kali merupakan kombinasi antara fakta dan fiksi mengenai orang dari kelompok budaya tertentu steriotipe bisa berguna dengan menjadi semacam dasar untuk melakukan evaluasi dan interaksi dengan orang dari budaya lain. Namu steriotip dapat menjadi bahaya dan merusak bila kita memegangnya dengan kaku dan menerapkanya secara pukul rata pada semua orang dari latar belakan budaya tertentu tanpa menyadari kemungkinan adanya kekeliruan pada dasar-dasar steriotip tersebut maupun adanya perbedaan individual disebuah kebudayaan. Dalam komunikasi antar budaya umumnya dan dalam konseling lintas budaya dalam khususnya, steriotipe mengandung segi negatif karena :
1)      Dapat memberikan stigma pada seseorang seakan akan sesuatu itu benar padahal tidak benar.
2)      Seakan-akan sifat tertentu berlaku untuk setiap individu dalam kelompok yang bersangkutan
3)      Dapat menjadi “ self-fulfilling prophecy” bagi seorang terkena steriotipe orang melakukan sesuatu karena telah dicap demikian.
Contoh steriotipe negatife : dalam hubungan antar etnik dan rasial indonesia, banyak nsteriotipe yang hingga kini masih berlaku , misal : “ Padang bengkon”, “Cina licik”. “Orang tasikmalay tukang kredit”, dll.
Contoh Steriotipe pasitif : “ orang sunda itu religius”, Orang cianjur itu santun, dan “orang solo berperasaan halus”.
      c)      Prasangka
Prasangka adalah kebencian, kecurigaan, dan tidak suka yang sifatnya irasional terhadap kelompok etnik, ras, agama, atau komunitas tertentu. Seorang dilihat bukan berdasarkan apa yang dilakukan tapi berdasarkan karakteristik superfisial bahwa ia itu anggota suatu kelompok. Orang yang memiliki kecenderungan untuk berprasangka cenderung sulit sulit berubah sikapnya, meskipun kepadanya telah diberikan informasi sebaliknya. Dalam hubungan antar etnik, ras, agama dan kelompok, masyarakat didunia prasangka masih sangat tebal. Contonhya adalah di amerika prasangka rasial terhadap kepada kelompok kulit hitam. Peristiwa prasangka agama yaitu  prasangka Amerika dan negara-negara barat menganggap seakan-akan islam itu identik denga terorisme.
      d)     Rasisme
Rasisme adalah setiap kebijakan setiap kebijakan, praktik, kepercayaan dan sikap yang diterpkan pa kelompok individu berdasarkan rasnya ( Jandt, 1998 : 7). Rasisme lebih berbahaya dari prasangka karena disertai penggunaan kekuatan untuk menekan kelompok lain yang biasanya minoritas. Sikap seperti ini dapat ditemukan diberbagai bagian dunia maupun sepanjang sejarah. Contohnya adalah peristiwa yang terjadi di  yaitu rasisme di sampit kalimantan antara suku dayak dan madura.
      e)      Relativisme
Relativisme epistemologis merupakan suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Sebaliknya, paham ini mengajarkan bahwa kebenaran yang ada dan yang dapat diketahui oleh manusia adalah kebenaran yang bersifat relatif. Relatif terhadap subjek yang bersangkutan, terhadap masyarakat dan budaya tertentu, terhadap paradigma yang dipakai, dan sebaginya (Sudarminta, 2002: 55). Relativisme terkait dengan kemajemukan budaya dan kemajemukan pandangan hidup dan berdasar pada kekhasan dan perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Ada beberapa macam relativisme, yakni :
1)      Relativisme Subjektif, Jenis yang pertama ini praktis sama dengan subjektivisme.
2)      Relativisme Budaya, tidak ada kebenaran objektif dan universal, karena kebenaran pengetahuan manusia selalu relatif dan tidak terlepas terhadap kebudayaan tempat pengetahuan itu berasal atau dikembangkan. Pengetahuan, dalam perspektif relativisme budaya ini, berarti selalu bersifat lokal (local knowledge) Penentuan benar dan salah terhadap pengetahuan yang berasal dari suatu konteks sosial dan budaya tertentu dilakukan melalui upaya kontekstualisasi dan tolak ukurnya ditentukan berdasar kesepakatan sosial dalam masyarakat.
3)      Relativisme kontekstual, relativisme ini mendasari relativisme budaya. Menurut kaum relativisme kontekstual benar dan salah itu tidak ada ukuran objektif dan universal, melainkan relatif dan bergantung kepada bingkai konseptual (conceptual framework) yang dipergunakan.
      f)       Absolutisme
Absolutisme budaya merupakan pandangan yang mengatakan bahwa nilai etis yang tertinggi. Absolutisme mendukung ketaatan etnosentris terhadap norma-norma budaya seseorang sebagai sikap etis yang benar bagi setiap orang. (Rhoda J. Howard: 20000: 82). Sikap seperti ini, dalam pandangan penulis lebih menitikberatkan pada keabsolutan sebuah budaya, dari pada relativisme budaya yang mampu mempertahankan cara hidup secara ideal tanpa mengancam terhadap individualisme dan alienasi yang terkandung dalam hak-hak asasi manusia (HAM).
Golongan absolutis budaya sebenarnya tidak sepenuhnya menolak pandangan budaya yang sifatnya universal, tetapi lebih kepada apresiasi terhadap nilai yang paling tinggi, yakni moral. Kecendrungan demikian, pada gilirannya telah mengesampingkan budaya-budaya yang sifatnya tidak mengandung nilai secara utuh. Sehingga memungkinkan terjadinya perdebatan dan kontroversi yang berkepanjangan. Jika hal ini terjadi, maka konsep budaya yang pada awalnya sebagai perekat dan landasan kemajuan bangsa hanya menjadi serimonial belaka. Sebab konsepsi budaya yang ditawarkan dan dimunculkan hanya berlandaskan pandangan secara universal, tanpa memperdulikan pandangan yang bersifat individual. budaya adalah nilai absolut, maka ciri fundamental hak asai manusia seperti nondiskriminasi dan keseteraan harus tunduk padanya.(Ibid, hlm. 92) Karena itu, dalam pandangan Filosuf Perancis Albert Schweitze, bahwa mengembangkan budaya tanpa etika pasti membawa kehancuran, sehingga kita dianjurkan untuk memperjuangakan mati-matian unsur etika yang tertanan dalam budaya itu sendiri. (Suprihadi Sastrosupono, 1984: 9-10).
 g)      Universalisme
Menurut Lonner (1980) telah mencatat variasi yang dapat dipertimbangkan dalam pendekatan terhadap hal – hal universal dalam psikologis lintas-budaya. Satu orientasi diturunkan dari tradisi psikometris. Vander Vijver dan poortinga (1982) mengajukan argumen, universalitas konsep dapat didefinisikan pada beberapa aras kejituan psikometris dan kesamaan yang lebih lintas budaya dalam erilaku diimplikasikan sebagai definisi yang lebih jitu. Argumen dari Van de Vijver dan poortinga (1982) tidak menerima dikontomi antara fenomena univesal dan fenomena khas budaya. Mereka mengajukan argumen agaknya bermakna “ untuk mempertimbangkan derajat ketagberagaman data lintas kelompok budaya sebagai fungsi dari kesamaan pola budaya atau ubah-ubahan latar belakang di antara kelompok budaya itu”. Argumen ini cocok dengan gagasan tentang universalisme sebagai pendekatan yang mencoba bergerak menuju definisi tentang perilaku tak beragam dalam istilah lebih tepat. Suatu konsep menjadi hal universal apabila pada ,atar teoritis ada alasan menerimanya sebagai hal yang tak beragam lintas semua budaya kalu ada pandangan empiris mendukung dan kalau tidak ada pandangan empiris untuk menolak.

Tidak ada komentar: