A.
Strategi Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dasar
Dalam bimbingan dan konseling pada
dasarnya ada dua strategi dalam mensiasati dan mengenmbangkan cara
menyelesaikan masalah anak usia sekolah dasar (6-12 th). Strategi tersebut
adalah strategi direktif dan non direktif
1.
Strategi direktif
Strategi direktif dikenal pula sebagai
strategi konseling yang berpusat pada konselor (counselor centered). Yaitu:
a.
Dasar pemikiran, pandangan srategi
konseling direktif tentang klien yang bemasalah :
Ø Klien pada dasarnya (setidak-tidaknya sekarang) sedang dalam keadaan
“lemah”, pesimis, tidak ada keyakinan diri, cenderung putus asa
Ø Klien merasa tidak mampu untuk membuka jalan buntu yang dialami
Ø Klien memiliki dorongan untuk menerima bantuan atau afeksi dari orang
lain
Ø Klien butuh agar orang lain bersimpatik dan empati, mengerti tentang
dirinya
Ø Klien butuh agar masalahnya segera dapat diselesaikan (secara langsung)
b.
Titik berat atau penekanan proses
konseling direktif terletak pada :
Ø Cetusa ide penyelesaian datang dari konselor, konselor aktif mengambil
inisiatif
Ø Konselor melakukan analisis, diagnosis, dan interpretasi
Ø Arah penyelesaian masalah ditentukan oleh konselor
Ø Konselor langsun mencarikan jalan keluar melatih, mengajak dan
menunujukan cara-cara mendobrag ketersesatan
Ø Strategi konseli berpusat pada konselor
c.
Pola hubungan konselor dan klien
pada konseling direktif yang perlu dikembangkan adalah :
Ø Seperti halnya hubungan antara pendidik dan subjek didik, guru dan
murid, bapak dan anak
Ø Konselor sebagai “ pengayom” tapi tegas dalam pedirian dan klien yang
lemah pada konselor, hormat atas kewibaaan konselor
Ø Hubunagan yang baik didasari itikad pemberi pertolongan (jiwa penolong)
dan motif ditolong, sebagai suatu pasangan yang selayaknya berinteraksi
Ø Keterkaitan hubungan bersumber pada kehalian konselor disatu pihak dan
kepercayaan klien dipihak lain (kewibaan teurapeutik)
Ø Kontak hubungan cenderung ditentukan oleh konselo dengan persetujuan
klien
d.
Tugas dan peran konselor pada
konseling direkjtif yang mendukung yaitu :
Ø Mengelola dan kemudi jalannya proses konseling. Bertanggung jawab atas
keseluruhna hasil proses konseling
Ø Aktif memberikan ide, saran, pendapat bahkan rekomendasi
Ø Merubah tingkah laku klien yang emosional menjadi tingkah laku yang
rasional, dari pandangan klien yang negatif menjadi pandangan yang positif,
hingga terjadi insight
Ø Melakukan analisis-analisis, diagnosis dan prognosis
Ø Menetapka tujuan khusus yang hendak dicapai klien serta menunjukan
cara-cara yang efektif untuk mencapai tujaun tersebut
Ø Mengarahkan dan mengontrol pelaksanaan cara-cara mencapai tujuan
tersebut
- Strategi non direktif
Strategi konseling non direktif merupakan strategi
konseling yang berpusat pada`klien (clien centered).
a.
Dasar pikiran dan pandangan
straregi konseling non direktif tentang klien yang bermasalah:
Ø Pada hakekatnya klien memiliki kemampuan (kaopasitas) yang positif
untul mengembangkan diri.
Ø Klien memiliki dorongan untuk mengaktualisasikan portensinya dan
bergerak maju untuk meningkatkan kesadaran serta pengembangan dirinya.
Ø Klien butuh dorongan darin orang lain agar`timbul kembli kekuatannya.
Ø Klien memiliki kebebasan untuk menentukan jaln hidupnya, namun butuh
fasilitas.
Ø Meski klien dicekam oleh masalahnya, namun pada`dasarnya optimistik,
rasional, dan realistik.
b.
Titik berat atau
penekanan-penekanan dalam proses konseling non-direktif ditandai oleh:
Ø Upaya konselor diwarnai oleh pemberian dorongan, rangsangan yang
menantang bila perlu konfrontatif.
Ø Konselor secara penuh memahami isi pembicaraan, perasaan dan pemikiran
yang ditangkap memlalui kata-kata ataupun performance.
Ø Konselor tidak secara langsung melakukan analisis, diagnosis, dan
interpretasi, juga tidak memberikan nasehat, pengajaran apalagi berkhotbah,
melainkan mengikhtusarkan perasaan klien.
Ø Konselor menghindari sikap klien yang akan bergantung melainkan
“menggiring” dan menempatkannya pada`posisi yang berpotensi dan berkapasitas
untuk masuk melalui idenya sendiri menuju arahan yang rasional dan “
terpanggil” untuk mengambil keputusan.
Ø Strategi konseling berpusat pada keaktifan, inisiatif dan dinamika psikis
klien.
c.
Pola hubungan antara konselor dan
klien pada konseling non-direktif yang perlu dikembangkan adalah:
Ø hubungan antar “insani” manusia yang penuh arti, pola hubungan dalam
status berpartner, konselor dan klien berada dalam kontak psikologis.
Ø Terciptanya “raport” dan “resposiveness” yang kemudian menumbuhkan
pertalian emosiaonal yang mendalam. Konselor tidak menenpatkan diri sebagai
manisia super, melainkan peka terhadap kebutuhan kilen.
Ø Konselor bersikap “ permisif” berkenaan dengan berbagaai ekspresi,
dorongan maupun keluhan klien. Klien memiliki kebebasan yang disadari
(beralasan), akan tanggung jawabnya.
Ø Adanya ketulusan, keikhlasan, dan kesukarelaan sehingga tata hubungan
dalam suasana bebas tanpa tekanan atau ditekan.
Ø Waktu konseling ditentukan klien yang disepakati konselor.
d.
Tugas dan peran konselor dalam
konseling non-direktif, yang terutama adalah.
Ø Bersama klien membuat kesepakatan (kontrak) tentang strategi dan tujuan
konseling
Ø Menciptakan tata hubungan berpartner yang menyenangkan, penuh pengertian,
tanpa melakukan penilaian apalagi ancaman-ancaman terhadap klien.
Ø Dapat merasakan “ internal frame of reference” (kerangka acuan
internal) klien sebagai sumber utama untuk memahami perilaku klien sebagai
sumber utama untuk memahami perilaku klien.
Ø Lebih memperhatikan respon yang bersifat emosional dari pada
intelektual
Ø Sebagai fasilitator tidak menguasai dan bertindak secara otoriter,
tetapi memberikan rangsangan dan motivasi agar klien yang sebemarnya lebih tahu
tentang dirinya sendiri serta mempunyai kapasitas dan tanggung jawab,
setapak demi setapak berani menghadapi realitas.
Ø Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar terproses perkembangan
pribadi dalam diri klien (congruance), yaitu dengan menenpatkan perasaan dan
pengalaman klien yang serasi dan masalah sekarang. Khususnya melalui empati dan
melakukan refleksi.
Ø Dengan “good acceptance and`understanding” konselor memberikan atensi
(achtung) terhadap “defences” dan persepsinya yang kaku (status quo) , agar
berangsur-angsur hilang.
Ø Melakukan oreintasi koseling, eksplorasi konseling dan sintesia secara
bersama-sama.
B. Teknik Bimbingan Konseling
Belajar Bagi Anak Usia Sekolah Dasar
Menurut Vigotesky (Botrova dan Leong, 1996) konseptualisasi antara belajar dan perkembangan dijelaskan
melalui zone of proximal development (ZPD). Perkembangan dipandang
sebagai rangkaian perilaku atau tingkatan kematangan sebagai point dalam sekala
sehingga disebut sebagai zone.
Pada konteks ZPD perkembangan perilaku dibatasi oleh dua
tingkatan yaitu tingkatan penampilan saat ini (independent) atau tingkatan yang
menunjukkan apa yang diketahui dan dapat dilakukan anak. Tingkatan ini dapat
pula dikatakan sebagai permasalahan – permasalahan perkembangan yang perlu
dipecahkan. Serta tingkatan penampilan yang dapat dibantu atau tingkatan
maksimum yang dapat dijangkau oleh anakdengan bantuan orang lain melalui
penciptaan lingkungan. Dengan kata lain tingkatan ini merupakan tingkatan
perkembangan potensial. Diantara dua tingkatan tersebut anak dihadapkan pada
sejumlah tugas yag memiliki tingkatan kesulitan tertentu dan menantang anak
mengkonstruksi pengetahuan.
Keterampilan dan perilaku yang dapat ditampilkan bersifat
dinamik dan merupakan perubahan yang terus menerus. Perubahan tingkatan
penampilan maksimum menunjukkan perkembangan anak. Tingkatan ini dicapai
melalui interaksi baik bersifat langsung seperti memberikan petunjuk dan
bersifat tak langsung dengan cara menciptakan situasi yang memfasilitasi
pemilikan keterampilan – keterampilan khusus.
Implikasi penting ZPD pada belajar adalah membantu anak
mengejakan tugas sehingga dicapai perkembangan yang optimal, upaya menilai anak
dan menetapkan apa yang tepat dikembangkan. Bermain direkomendasikan oleh
Vigotsky sebagai cara membantu anak secara penuh, alat untuk meningkatkan tugas
yang dapat ditampilkan atau diselesaikan dan kesempatan untuk belajar.
1. Teknik Bermain
Pada saat bermain, anak secara spontan
menggunakan kemampuan memaknai objek yang dia tahu mengguanakan atau
merekayasa, dan manakala tidak tahu anak akan berkata – kata dan bertanya –
tanya penuh perhatian.
Tahapan bermain pada anak usia dini
menurut Piaget berada diantara tahapan
bermain simbolik (anak mengguanakan skema mental suatu objek untuk objek yang
lain dalam bermain kontruksi dan bermain dramatik). Dengan tahapan bermain game
(bermain dengan menggunakan berbagai aturan formal yang dikembangkan oleh diri
sendiri maupun orang lain.
Disekolah dasar kategori bermain menurut
Nanci King (1987) dikelompokkan dalam tiga kelompok:
a.
Tahapan bermain instrumental, yaitu
semua akademis harus dipromosikan dalam seting pengarahan tidak langsung atau
bermain, agar anak tidak hanya mengikuti tetapi memahami makna.
b.
Tahapan bermain pada anak usia
dini menurut Piaget
berada diantara tahapan bermain simbolik (anak menggunakan skema mental suatu
objek untuk objek yang lain dalam bermain kontruksi dan bermain dramatik).
c.
Tahapan bermain game (bermain
dengan menggunakan berbagai aturan formal yang dikembangkan oleh diri sendiri
maupun orang lain.
Tujuan dari teknik bermain adalah
a.
Mainan untuk memudahkan ekspresi
“Mainan adalah kata – kata anak – anak
dan bermain adalah bahasa mereka”. Oleh karena itu, konselor harus memberikan
mainan yang dapat memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan
dalam rentangan yang luas.
Menurut Ginott (1960) suatu ide yang
baik untuk memberikan mainan dimana anak tidak biasa dibiarkan bermain dirumah
adanya mainan – mainan ini menyatakn suatu sikap yang permisif dan membantu
terapis mengerti dunia inner anak.
b.
Mainan mendorong kreatifitas
Beberapa mainan, sudah menjadi sifat
dasarnya, mendrong kreatifitas. Dalam memilih mainan, konselor ingi menyimpan
dalam pikirannya barang – barang yang sederhana, yang kadang – kadang
membangkitkan imajinasi.
c.
Mainan dapat menyalurkan emosi
Anak dapat menggunakan pasir, air, cat
dan tanah liat untuk menyalurkan perasaannya yang kuat dimana mereka tidak
berani mengko,umikasikan lebih terbuka. Anak dibiarkan untuk mengubah identitas
bahan – bahan atau meteri mainan dalam khayalan mereka dalam menciptakan suatu
yang kreatif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tanah liat, pasir, cat dapat
dijadikan “untuk membunyikan sesuatu yang tidak ingin dinyatakan dan dilakukan
karena memalukan.” Anak memerlukan temapat yang aman dalam mengeksplorasi dan
menyalurkan perasaan, seperti permainan pasir dan air dapat membuat tenang,
relaks, dan bahagia pada beberapa anak.
d.
Mainan dapat mengekspresikan sifat agresif
Mainan senjata, pisau karet, pedang
plastik, perisai dari kayu, palu dan catut menggambarkan pada anak – anak suatu
arti yang mengekspresikan permusuhan dan agresif. Dalam pandangan Genott (1960)
beberapa aktifitas membantu anak “memusatkan energi mereka pada proyek dan
tujuan, keduanya dapat dilakukan di dalam dan diluar kamar bermain.
e.
Bermain dikontrol versus bermain
bebas
Ada perbedaan pendapat apakah bermain
seharusnya dikontrol atau bebas. Levy (1963) merasa bahwa mengontrol mainan
dengan menyeleksi mainan – mainan tertentu, dapat digunakan untuk memecahkan
konflik – konfliknya. Levy kelihatannya tidak mencoba menunjukkan perasaan
kepada anak, mengembangkan transferensi, atau menunjukkan perubahan dalam
tingkah laku; tetapi dia telah sukses dalam terapi bermain dengan anak antara
umur 2 – 10 tahun.
Levy menemukan bahwa anak – anak
dibawah umur 6 tahun tampaknya dapat dibantu tanpa sepengetahuan mereka,
mengapa mereka dikirim keterapis, dan tanpa merasakan hubungan apapun antara
permainan dan tingkah laku mereka. Kemungkinan, suksesnya Levy merefleksikan
fakta adalah bahwa fantasi dan kenyataan tidak berbeda secara kaku pada anak
yang berumur lebih muda. Suskses dari Mann, menggunakan proses yang sama ,
mendukung proses hipotese ini. (1957).
Axline dan Moustakas (1953) berpegang
pada anak boleh memilih secara bebas permainan yang mereka sukai. Mereka mengatur
kamar bermain dengan cara – cara sama untuk semua anak dengan semua alat – alat
yang tersedia yang dapat digunakan oleh anak – anak secara bebas. Memilih
materi mainan secara spontan mengurangi kepalsuan; ak memilih medianya sendiri
dan melanjutkan dengan kecepatannya.
Teknik bermain khusus untuk menghadapi
anak yang frustasi disampaikan dalam bentuk film yang diproduksi oleh Vassar
dan Sarah Lawrence. Teknik ini dikembangkan Eugene Learner, yang menyarankan
bahwa individu mungkin bereaksi dengan banyak cara yang berbeda untuk situasi
frustasi menurut kebutuhan anak sekarang. Hal ini disarankan supaya anak
belajar mengatasi rintangan ini dengan bermain, dan dengan bermain dia akan
mendapatkan wawasan untuk memecahkan frustasi lain dalam hidupnya.
Keduanya bermain bebas dan bermain dikontrol,
kelihatannya mempunyai keunggulan dalam membantu anak memecahkan masalahnya.
Sukses dari berbagai metode seperti yang digunakan oleh terapis yang berbeda,
menyarankan kepada konselor untuk dapat cakap dalam menguasai dalam berbagai
bidang dan menggunakan kebijaksanaan, menyeleksi media untuk diri mereka
sendiri atau membiarkan anak melakukannya. Ini seharusnya ditunjukkan bahwa
tidak cukup rasional untuk menjelaskan sukses dari terapi. Sekadar sebagai
terapi orang dewasa, begitu banyak hipotese yang tumbuh dari berbagai posisi
teori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar