Translate

Jumat, 12 Oktober 2012

Strategi dan Teknik Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dasar

A.    Strategi Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dasar
            Dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya ada dua strategi dalam mensiasati dan mengenmbangkan cara menyelesaikan masalah anak usia sekolah dasar (6-12 th). Strategi tersebut adalah strategi direktif dan non direktif
1.        Strategi direktif
Strategi direktif dikenal pula sebagai strategi konseling yang berpusat pada konselor (counselor centered). Yaitu:
a.    Dasar pemikiran, pandangan srategi konseling direktif tentang klien yang bemasalah :
Ø  Klien pada dasarnya (setidak-tidaknya sekarang) sedang dalam keadaan “lemah”, pesimis, tidak ada keyakinan diri, cenderung putus asa
Ø  Klien merasa tidak mampu untuk membuka jalan buntu yang dialami
Ø  Klien memiliki dorongan untuk menerima bantuan atau afeksi dari orang lain
Ø  Klien butuh agar orang lain bersimpatik dan empati, mengerti tentang dirinya
Ø  Klien butuh agar masalahnya segera dapat diselesaikan (secara  langsung)
Ø  Konselor telah memiliki format tentang pemecahan dan penyelesain masalah klien.
b.    Titik berat atau penekanan proses konseling direktif terletak pada :
Ø  Cetusa ide penyelesaian datang dari konselor, konselor aktif mengambil inisiatif
Ø  Konselor melakukan analisis, diagnosis, dan interpretasi
Ø  Arah penyelesaian masalah ditentukan oleh konselor
Ø  Konselor langsun mencarikan jalan keluar melatih, mengajak dan menunujukan cara-cara mendobrag ketersesatan
Ø  Strategi konseli berpusat pada konselor
c.    Pola hubungan konselor dan klien pada konseling direktif yang perlu dikembangkan adalah :
Ø  Seperti halnya hubungan antara pendidik dan subjek didik, guru dan murid, bapak dan anak
Ø  Konselor sebagai “ pengayom” tapi tegas dalam pedirian dan klien yang lemah pada konselor, hormat atas kewibaaan konselor
Ø  Hubunagan yang baik didasari itikad pemberi pertolongan (jiwa penolong) dan motif ditolong, sebagai suatu pasangan yang selayaknya berinteraksi
Ø  Keterkaitan hubungan bersumber pada kehalian konselor disatu pihak dan kepercayaan klien dipihak lain (kewibaan teurapeutik)
Ø  Kontak hubungan cenderung ditentukan oleh konselo dengan persetujuan klien
d.   Tugas dan peran konselor pada konseling direkjtif yang mendukung yaitu :
Ø  Mengelola dan kemudi jalannya proses konseling. Bertanggung jawab atas keseluruhna hasil proses konseling
Ø  Aktif memberikan ide, saran, pendapat bahkan rekomendasi
Ø  Merubah tingkah laku klien yang emosional menjadi tingkah laku yang rasional, dari pandangan klien yang negatif menjadi pandangan yang positif, hingga terjadi insight
Ø  Melakukan analisis-analisis, diagnosis dan prognosis
Ø  Menetapka tujuan khusus yang hendak dicapai klien serta menunjukan cara-cara yang efektif untuk mencapai tujaun tersebut
Ø  Mengarahkan dan mengontrol pelaksanaan cara-cara mencapai tujuan tersebut
  1. Strategi non direktif
Strategi konseling non direktif merupakan strategi konseling yang berpusat pada`klien (clien centered).
a.    Dasar pikiran dan pandangan straregi konseling non direktif tentang klien yang bermasalah:
Ø  Pada hakekatnya klien memiliki kemampuan (kaopasitas) yang positif untul mengembangkan diri.
Ø  Klien memiliki dorongan untuk mengaktualisasikan portensinya dan bergerak maju untuk meningkatkan kesadaran serta pengembangan dirinya.
Ø  Klien butuh dorongan darin orang lain agar`timbul kembli kekuatannya.
Ø  Klien memiliki kebebasan untuk menentukan jaln hidupnya, namun butuh fasilitas.
Ø  Meski klien dicekam oleh masalahnya, namun pada`dasarnya optimistik, rasional, dan realistik.
b.    Titik berat atau penekanan-penekanan dalam proses konseling non-direktif ditandai oleh:
Ø  Upaya konselor diwarnai oleh pemberian dorongan, rangsangan yang menantang bila perlu konfrontatif.
Ø  Konselor secara penuh memahami isi pembicaraan, perasaan dan pemikiran yang ditangkap memlalui kata-kata ataupun performance.
Ø  Konselor tidak secara langsung melakukan analisis, diagnosis, dan interpretasi, juga tidak memberikan nasehat, pengajaran apalagi berkhotbah, melainkan mengikhtusarkan perasaan klien.
Ø  Konselor menghindari sikap klien yang akan bergantung melainkan “menggiring” dan menempatkannya pada`posisi yang berpotensi dan berkapasitas untuk masuk melalui idenya sendiri menuju arahan yang rasional dan “ terpanggil” untuk mengambil keputusan.
Ø  Strategi konseling berpusat pada keaktifan, inisiatif dan dinamika psikis klien.
c.    Pola hubungan antara konselor dan klien pada konseling non-direktif yang perlu dikembangkan adalah:
Ø  hubungan antar “insani” manusia yang penuh arti, pola hubungan dalam status berpartner, konselor dan klien berada dalam kontak psikologis.
Ø  Terciptanya “raport” dan “resposiveness” yang kemudian menumbuhkan pertalian emosiaonal yang mendalam. Konselor tidak menenpatkan diri sebagai manisia super, melainkan peka terhadap kebutuhan kilen.
Ø  Konselor bersikap “ permisif” berkenaan dengan berbagaai ekspresi, dorongan maupun keluhan klien. Klien memiliki kebebasan yang disadari (beralasan), akan tanggung jawabnya.
Ø  Adanya ketulusan, keikhlasan, dan kesukarelaan sehingga tata hubungan dalam suasana bebas tanpa tekanan atau ditekan.
Ø  Waktu konseling ditentukan klien yang disepakati konselor.
d.   Tugas dan peran konselor dalam konseling non-direktif, yang terutama adalah.
Ø  Bersama klien membuat kesepakatan (kontrak) tentang strategi dan tujuan konseling
Ø  Menciptakan tata hubungan berpartner yang menyenangkan, penuh pengertian, tanpa melakukan penilaian apalagi ancaman-ancaman terhadap klien.
Ø  Dapat merasakan “ internal frame of reference” (kerangka acuan internal) klien sebagai sumber utama untuk memahami perilaku klien sebagai sumber utama untuk memahami perilaku klien.
Ø  Lebih memperhatikan respon yang bersifat emosional dari pada intelektual
Ø  Sebagai fasilitator tidak menguasai dan bertindak secara otoriter, tetapi memberikan rangsangan dan motivasi agar klien yang sebemarnya lebih tahu tentang dirinya sendiri serta mempunyai kapasitas dan tanggung jawab, setapak demi setapak berani menghadapi realitas.
Ø  Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar terproses perkembangan pribadi dalam diri klien (congruance), yaitu dengan menenpatkan perasaan dan pengalaman klien yang serasi dan masalah sekarang. Khususnya melalui empati dan melakukan refleksi.
Ø  Dengan “good acceptance and`understanding” konselor memberikan atensi (achtung) terhadap “defences” dan persepsinya yang kaku (status quo) , agar berangsur-angsur hilang.
Ø  Melakukan oreintasi koseling, eksplorasi konseling dan sintesia secara bersama-sama.

      B.     Teknik Bimbingan Konseling Belajar Bagi Anak Usia Sekolah Dasar
Menurut Vigotesky (Botrova dan Leong, 1996) konseptualisasi antara belajar dan perkembangan dijelaskan melalui zone of proximal development (ZPD). Perkembangan dipandang sebagai rangkaian perilaku atau tingkatan kematangan sebagai point dalam sekala sehingga disebut sebagai zone.
Pada konteks ZPD perkembangan perilaku dibatasi oleh dua tingkatan yaitu tingkatan penampilan saat ini (independent) atau tingkatan yang menunjukkan apa yang diketahui dan dapat dilakukan anak. Tingkatan ini dapat pula dikatakan sebagai permasalahan – permasalahan perkembangan yang perlu dipecahkan. Serta tingkatan penampilan yang dapat dibantu atau tingkatan maksimum yang dapat dijangkau oleh anakdengan bantuan orang lain melalui penciptaan lingkungan. Dengan kata lain tingkatan ini merupakan tingkatan perkembangan potensial. Diantara dua tingkatan tersebut anak dihadapkan pada sejumlah tugas yag memiliki tingkatan kesulitan tertentu dan menantang anak mengkonstruksi pengetahuan.
Keterampilan dan perilaku yang dapat ditampilkan bersifat dinamik dan merupakan perubahan yang terus menerus. Perubahan tingkatan penampilan maksimum menunjukkan perkembangan anak. Tingkatan ini dicapai melalui interaksi baik bersifat langsung seperti memberikan petunjuk dan bersifat tak langsung dengan cara menciptakan situasi yang memfasilitasi pemilikan keterampilan – keterampilan khusus.
Implikasi penting ZPD pada belajar adalah membantu anak mengejakan tugas sehingga dicapai perkembangan yang optimal, upaya menilai anak dan menetapkan apa yang tepat dikembangkan. Bermain direkomendasikan oleh Vigotsky sebagai cara membantu anak secara penuh, alat untuk meningkatkan tugas yang dapat ditampilkan atau diselesaikan dan kesempatan untuk belajar.
1.    Teknik Bermain
Pada saat bermain, anak secara spontan menggunakan kemampuan memaknai objek yang dia tahu mengguanakan atau merekayasa, dan manakala tidak tahu anak akan berkata – kata dan bertanya – tanya penuh perhatian.
Tahapan bermain pada anak usia dini menurut Piaget berada diantara tahapan bermain simbolik (anak mengguanakan skema mental suatu objek untuk objek yang lain dalam bermain kontruksi dan bermain dramatik). Dengan tahapan bermain game (bermain dengan menggunakan berbagai aturan formal yang dikembangkan oleh diri sendiri maupun orang lain.
Disekolah dasar kategori bermain menurut Nanci King (1987) dikelompokkan dalam tiga kelompok:
a.         Tahapan bermain instrumental, yaitu semua akademis harus dipromosikan dalam seting pengarahan tidak langsung atau bermain, agar anak tidak hanya mengikuti tetapi memahami makna.
b.        Tahapan bermain pada anak usia dini menurut Piaget berada diantara tahapan bermain simbolik (anak menggunakan skema mental suatu objek untuk objek yang lain dalam bermain kontruksi dan bermain dramatik).
c.         Tahapan bermain game (bermain dengan menggunakan berbagai aturan formal yang dikembangkan oleh diri sendiri maupun orang lain.
Tujuan dari teknik bermain adalah
a.       Mainan untuk memudahkan ekspresi
“Mainan adalah kata – kata anak – anak dan bermain adalah bahasa mereka”. Oleh karena itu, konselor harus memberikan mainan yang dapat memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam rentangan yang luas.
Menurut Ginott (1960) suatu ide yang baik untuk memberikan mainan dimana anak tidak biasa dibiarkan bermain dirumah adanya mainan – mainan ini menyatakn suatu sikap yang permisif dan membantu terapis mengerti dunia inner anak.
b.      Mainan mendorong kreatifitas
Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya, mendrong kreatifitas. Dalam memilih mainan, konselor ingi menyimpan dalam pikirannya barang – barang yang sederhana, yang kadang – kadang membangkitkan imajinasi.
c.       Mainan dapat menyalurkan emosi
Anak dapat menggunakan pasir, air, cat dan tanah liat untuk menyalurkan perasaannya yang kuat dimana mereka tidak berani mengko,umikasikan lebih terbuka. Anak dibiarkan untuk mengubah identitas bahan – bahan atau meteri mainan dalam khayalan mereka dalam menciptakan suatu yang kreatif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tanah liat, pasir, cat dapat dijadikan “untuk membunyikan sesuatu yang tidak ingin dinyatakan dan dilakukan karena memalukan.” Anak memerlukan temapat yang aman dalam mengeksplorasi dan menyalurkan perasaan, seperti permainan pasir dan air dapat membuat tenang, relaks, dan bahagia pada beberapa anak.
d.      Mainan dapat mengekspresikan sifat agresif
Mainan senjata, pisau karet, pedang plastik, perisai dari kayu, palu dan catut menggambarkan pada anak – anak suatu arti yang mengekspresikan permusuhan dan agresif. Dalam pandangan Genott (1960) beberapa aktifitas membantu anak “memusatkan energi mereka pada proyek dan tujuan, keduanya dapat dilakukan di dalam dan diluar kamar bermain.
e.       Bermain dikontrol versus bermain bebas
Ada perbedaan pendapat apakah bermain seharusnya dikontrol atau bebas. Levy (1963) merasa bahwa mengontrol mainan dengan menyeleksi mainan – mainan tertentu, dapat digunakan untuk memecahkan konflik – konfliknya. Levy kelihatannya tidak mencoba menunjukkan perasaan kepada anak, mengembangkan transferensi, atau menunjukkan perubahan dalam tingkah laku; tetapi dia telah sukses dalam terapi bermain dengan anak antara umur 2 – 10 tahun.
Levy menemukan bahwa anak – anak dibawah umur 6 tahun tampaknya dapat dibantu tanpa sepengetahuan mereka, mengapa mereka dikirim keterapis, dan tanpa merasakan hubungan apapun antara permainan dan tingkah laku mereka. Kemungkinan, suksesnya Levy merefleksikan fakta adalah bahwa fantasi dan kenyataan tidak berbeda secara kaku pada anak yang berumur lebih muda. Suskses dari Mann, menggunakan proses yang sama , mendukung proses hipotese ini. (1957).
Axline dan Moustakas (1953) berpegang pada anak boleh memilih secara bebas permainan yang mereka sukai. Mereka mengatur kamar bermain dengan cara – cara sama untuk semua anak dengan semua alat – alat yang tersedia yang dapat digunakan oleh anak – anak secara bebas. Memilih materi mainan secara spontan mengurangi kepalsuan; ak memilih medianya sendiri dan melanjutkan dengan kecepatannya.
Teknik bermain khusus untuk menghadapi anak yang frustasi disampaikan dalam bentuk film yang diproduksi oleh Vassar dan Sarah Lawrence. Teknik ini dikembangkan Eugene Learner, yang menyarankan bahwa individu mungkin bereaksi dengan banyak cara yang berbeda untuk situasi frustasi menurut kebutuhan anak sekarang. Hal ini disarankan supaya anak belajar mengatasi rintangan ini dengan bermain, dan dengan bermain dia akan mendapatkan wawasan untuk memecahkan frustasi lain dalam hidupnya.
Keduanya bermain bebas dan bermain dikontrol, kelihatannya mempunyai keunggulan dalam membantu anak memecahkan masalahnya. Sukses dari berbagai metode seperti yang digunakan oleh terapis yang berbeda, menyarankan kepada konselor untuk dapat cakap dalam menguasai dalam berbagai bidang dan menggunakan kebijaksanaan, menyeleksi media untuk diri mereka sendiri atau membiarkan anak melakukannya. Ini seharusnya ditunjukkan bahwa tidak cukup rasional untuk menjelaskan sukses dari terapi. Sekadar sebagai terapi orang dewasa, begitu banyak hipotese yang tumbuh dari berbagai posisi teori.

Tidak ada komentar: